Rabu, 09 Maret 2011

BUMI MEMBARA DI JAZIRAH KIERAHA; Konflik Internal Kesultanan Ternate dan Tidore (1784 – 1797).


BUMI MEMBARA DI JAZIRAH KIERAHA
“ Konflik Internal Kesultanan Ternate dan Tidore (1784 – 1797)
Oleh: Tauhid Usman

Bangsa Indonesia adalah sebuah negeri kepulauan yang memiliki kekuasaan palng luas yaitu lautan dan hamparan pulau-pulau kecil dan besar yang menambah indahnya panorama alam bagaikan hamparan bintang di langit. Alam yang mendukung kemudian pola kehidupan masyarakat yang aman, damai dan sejahtera menambah kayanya bangsa Indonesia.
Suasana yang demikian harmonisnya ini dapat mempersatukan berbagai kalangan suku, agama dan budaya demi terciptanya kepentingan bangsa dan mewujudkan kehidupan yang bebas dari segala kepentingan. Hal ini sepertinya tergadaikan ketika masuknya bangsa barat ke Indonesia yang bukan merupakan tujuan suci melainkan menghancurkan tatanan tersebut. Mulanya bangsa Portugis dan Spanyol pada abad ke-16 dan kemudian Bangsa Belanda pada abad ke-17 telah membuat memudarnya tatanan kehidupan masyarakat tersebut karena mereka memiliki tujuan untuk menggali keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari monopoli perdagangan rempah-rempah yang disertai tindakan ekstirpasi, intervensi dan adu domba telah membuat kehidupan rakyat tersiksa dan melarat.
Pemerintah kolonial Belanda ketika itu dipandang sangat tangguh dalam berdiplomasi, pintar dalam berpolitik dan memiliki kemampuan finansial serta peralatan perang yang memadai berupa kapal, bedil dan meriam. Disamping itu pihak pemerintah kolonial Belanda telah berpengalaman ratusan tahun dalam menghadapi berbagai pemberontakan.
Beberapa ribu orang eropa ditempat kedudukan mereka di Ternate dan Tidore tidak mampu menegakkan kesejahteraan tetapi malah menimbulkan pergolakan. Kepulauan ini telah terganggu oleh persaingan sewenang-wenang oleh sesama kepala desa yang jumlahnya puluhan yaitu sekutu-sekutu rakyat Ternate  dan Tidore yang jauh lebih maju dan berkuasa[1]. Tetapi para penguasa dari kedua kawasan mini ini menjalankan  pemerintahan langsung atas penduduknya yang jumlahnya tidak melibehi 10.000 orang dan mengandalkan orang-orang bawahan yang diragukan kesetiannya untuk memimpin kawasan yang kelihatannya saja tunduk kepada mereka. Bagaimanapun juga, aman terhadap intervensi barat tepat pada saat kedua kerajaan itu bergabung, mungkin akan mencapai hegemoni yang kuat.
Hal ini tidak dapat terwujud karena sepanjang sejarah kedua kerajaan ini diwarnai konflik. Gambaran singkatnya yaitu “Apa yang terjadi di Makuku Utara itu sungguh mempesona tetapi juga mengerikan. Malapateka gejolak sosial, politik, dan ekonomi tak terhindarkan”. Di sisi lain perebutan pengaruh oleh kedua kerajaan besar itu, melahirka dendam dan dikotomi. Pada suatu saat masyarakat Tidore merasa lebih superior dari masyarakat Ternate atau masyarakat lainnya dan begitu juga sebaliknya. Sepanjang sejarah kedua kesultanan ini saling berebut pengaruh di kepulauan sekitarnya[2]. Sehingga semenjak berdirinya kedua kerajaan ini sulit bersatu karena masing-masing ingin mengejar prestise sehingga tidak menghiraukan dampak yang akan terjadi. Perkembangan konflik semakin memuncak ketika masuknya bangsa barat ke daerah Maluku sehingga bertambah rumitlah perselisihan kedua kerajaan tersebut yang pada akhirnya kerajaan Ternate bergabung dengan bangsa Portugis untuk menghancurkan kerajaan Tidore namun kerajaan Tidore pun tidak mau kalah dan bekerjasama dengan bangsa Spanyol sehingga pada akhirnya terajdi peperangan antara kedua dan kerajaan Ternate dibantu oleh bangsa Portugis dan kerajaan Tidore dibantu oleh bangsa Spanyol.
Hal lain yang paling urgen adalah adanya campur tangan pemerintah kolonial Belanda dalam hal pengangkatan sultan, sehingga timbulnya konflik bagi sesama kerajaan maupun dalam tubuh kerajaan itu sendiri. Gambaran tersebut di atas sebagaimana terjadi pada kesultanan Tidore pada masa kesultanan Syaifudin, saat itu yang memiliki hak menjadi sultan setelah wafatnya Sultan Saidi adalah Kaicil Goranya, namun dengan adanya campur tangan kompeni Belanda dengan menggunakan politik uang melalui para bobato, mulai dari Jogugu sampai para hukum soasio sehingg berhasil menubatkan adiknya Goranya yaitu  Kaicil Galafino (sultan Syaifuddin) menjadi sultan Tidore.
Politik campur tangan ini juga terjadi ketika wafatnya Sultan Jamaluddin, seharusnya yang menggantikan adalah putra mahkota akan tetapi kompeni Belanda berupaya mengangkat pamannya yaitu Kaicil Gaijira yang ternyata sudah lanjut usia dan nyaris terjadi bentrokan senjata karena ditantang oleh sejumlah pengeran dan bobato. Tidak sampai disitu saja saat Kaicil Gaijira Wafat kedudukan yang sebenarnya harus kembali ke  putra sulung Sultan Jamaluddin sebagai pewaris kerajaan yang sah, namun Belanda berupaya mengangkat Patra Alam, sehingga  menimbulkan reaksi keras dari Nuku dan adiknya Kamaluddin, kemudian Patra Alam dicopot dari jabatannya dengan alansan bahwa telah melakukan persekongkolan dengan pihak Nuku, setelah itu upaya kolonial Belanda menjalankan politiknya kembali dengan menggangkat Kamaluddin sebagai Sultan Tidore bukan Nuku sebagai pewaris yang layak karena lebih tua dari Jamaluddin dan sesuai dengan hukum kerajaan yang telah diatur.
Pengangkatan Kamaludin selaku putra Jamaludin mempunyai pengaruh pada kepala-kepala rakyat dan raja-raja di  kesultanan Tidore, tetapi Nuku menggugat pengangkatan tersebut, karena Nuku lebih berhak terlebih dahulu selaku pangeran yang lebih tua, namun jika Kamaludin menghendaki diakui sebagai sultan maka harus berlepas diri dari Kompeni Belanda, setidak-tidaknya mengubah atau membatalkan kontrak dengan Kompeni Belanda, yang mengikat sepihak dan menjadikan sultan Tidore sebagai boneka.
Rencana kerja Sultan Kamaluddin setelah menduduki tahta kerajaan adalah memulihkan  daerah-daerah kerajaannya yang kini tunduk kepada Nuku, untuk kembali tunduk kepada kesultanan. Namun demikian Nuku berulang kali menyampaikan surat kepada Kamaluddin untuk menghentikan kerjasama dengan kompeni Belanda yang hanya ingin mengeksploitasi kekayaan alam di Tidore dan menyengsarankan rakyat Tidore. Nuku berusaha membujuk Kamaluddin untuk bersatu dan berjuang untuk mengusir Belanda di Tidore dan Maluku, namun Kamaluddin tidak mengindahkan ajakan Nuku tersebut, malahan Kamaluddin meminta Nuku untuk kembali dan bersatu dengan dirinya untuk bekerjasama dengan kompeni Belanda.
Hal ini maka menimbulkan konflik yang berkepanjangan dalam tubuh kesultanan Tidore yang kurang lebih selama 13 tahun, dari tahun 1784 – 1797, dan tahun 1797 adalah akhir dari masa kekuasaan Kamaludin dimana Nuku melakukan kerjasama dengan Inggris dalam politik adu dombanya kemudian menyerang Tidore dan berhasil menduduki tahta Sultan Tidore.


[1] F.S.A. de Ckercq, Tot de Kennis der Residentie Ternate, Leiden, E.J. Brill, buku ini banyak mengulas tentang kesultanan Ternate sedangkan Kesultanan Tidore tidak terlalu banyak di singgung. Karya ini banyak dipakai oleh penulis sejarah kemudian, baik penulis Belanda maupun Indonesia. Ulasannya mengenai sejarah Kesultanan Ternate cukup luas dan dapat dipakai sebagai sumber analisis konflik antara Kesultanan Ternate dan Tidore.
[2] H.J. van den Berg, H. Kroeskamp, Dari Pnggung Peristiwa Sejarah Dunia, J.B. Wolters, Jakarta-Groningen. Sekalipun karya sejarah yang sifatnya umum akan tetapi konflik di antara kesultanan Ternate dan Tidore juga di ulas di dalam bab ke III. Berg memaparkan bahwa persaingan antara kesultanan Ternate dan Tidore cukup sengit sepanjang sejarah empat kesultanan di Maluku Utara yang sangat berdekatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar