Rabu, 09 Maret 2011

KEDUDUKAN SANGAJI SEBAGAI PEMANGKU ADAT DIKELURAHAN MAREKU


KEDUDUKAN SANGAJI SEBAGAI PEMANGKU ADAT DIKELURAHAN MAREKU

A. TIDORE SELAYANG PANDANG
1. Lokasi Dan Gambaran Umum Kota
Kota Tidore kepulauan baru saja di resmikan pada tanggal 31 Mei 2003 menjadi sebuah daerah otonom yang berdiri sendiri lepas dari Kabupaten Halmahera Tengah berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2003 Tentang Pemekaran Wilayah. Secara astronomis daerah otonom ini terletak pada 0-20o Lintang Utara dengan posisi 127o-127,45o Bujur Timur. Luas wilayah adalah 14,220,02 km terdiri dari luas daratan  9. 816 km dan lautan 4,402 km dengan batas-batas wilayah sebagai berikut sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur dan Kecamatan Weda Kabupaten Halmahera Tengah, sebelah Barat berbatasan dengan perairan Maluku Utara, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan pulau Ternate dan Kecamatan Jailolo Selatan di Kabupaten Halmahera Barat sedangkan di sebelah Selatan berbatasan dengan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten pulau Moti Kota Tidore.
Secara administratif Kota Tidore Kepulauan terdiri dari 5 Kecamatan, 20 Kelurahan dan 21 buah desa. Adapun 5 Kecamatan di maksud adalah kecamatan pulau Tidore, Kecamatan Tidore Selatan, kecamatan Tidore Utar, Kecamatan Oba Utara dan Kecamatan Oba. Secara jelas nama-nama kelurahan dan nama-nama desa yang ada di kota kepulauan tidore dapat di lihat pada tabel 1 di bawah ini
Tabel 1. Nama-Nama Kelurahan dan Nama-Nama Desa Di Kota Tidore Kepulauan
No.
Nama Kelurahan
Nama Desa
Keterangan
1
Gamtufkange
Kalaodi

2
Soasio
Mafutu

3
Indonesiana
Mare Kofo

4
Topo
Mare Gam

5
Seli
Bobo

6
Soadara
Maetara

7
Gurabunga
Sofifi

8
Dowora
Gurafing

9
Gurabati
Kayasa

10
Tongowai
Akelamo

11
Tomalou
Oba

12
Tuguiha
Solamahade

13
Dokiri
Akelamo

14
Toloa
Lola

15
Rum
Gita

16
Afa-Afa
Toseho

17
Mareku
Woda

18
Ome
Payahe

19
Jaya
Maidi

20

Lifofa

Sumber Kota Tidore Kepulauan Dalam Angka Tahun 2006
Untuk mencapai kota Tidore Kepulauan perjalanan dapat di tempuh dengan menggunakan pesawat udara yaitu melalui Kota Ternate dan seterusnya menggunakan speed boad menuju pulau Tidore atau memakai kapal laut yang juga tiba di pelabuhan Ternate. Angkutan transportasi udara yang melayani Ambon Ternate atau Jakarta Ternate antara lain Merpati, Wings dan Pelita Air sedangkan angkutan transportasi laut di layani oleh kapal-kapal Pelni antara lain K.M. Ngapulu, K.M. Lambelu, K.M. Umsini dan K.M. Sinabung.
Sesuai dengan nama daerahnya yaitu Kota Tidore Kepulauan maka daerah ini memiliki beberapa buah pulau masing-masing Pulau Halmahera, Pulau Tidore, Pulau Mare Gam dan Pulau Maitara. Topografi daerah berfariasi yakni bergunung, datar sedikit berbukit, tanahnya berbatu dan berwarna hitam yang gembur cocok untuk bertani. Di pulau Tidore ada sebuah gunung yang bernama Kiematubu. Secara etimologi Kie artinya gunung dan Matubu artinya puncak. Jadi Kiematubu artinya gunung yang paling tinggi. Kadang-kadang gunung ini dinamakan juga Gunung Air Panas karena di waktu dahulu Kiematubu pernah menyeburkan lahar panas yang mengalir bagaikan sungai.
Tipe iklim yang ada di daerah ini adalah iklim tropis, dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya heterogen sesuai indikasi umum iklim tropis. Tipe iklim tropis ini mempengaruhi banyak atau sedikitnya curah hujan dan hari hujan. Pada table 2 berikut ini terlihat banyaknya curah hujan dan hari hujan di Kota Tidore Kepulauan.

Tabel 2. Banyaknya Curah Hujan dan Hari Hujan Di Kota Tidore Kepulauan Tahun 2006.
NO
BULAN
CURAH HUJAN
HARI HUJAN
1
2
3
4
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
18,6
14,9
33,15
27,15
78,59
32,45
22,50
0
19,6
15,3
14,3
18,0
7
6
8
8
9
5
3
0
6
1
4
5

Jumlah Total
Rata-rata
294.54
24,55
62
5,17
Sumber: Brigadeproteksi Tanaman Kabupaten Halmahera Tengah/Kota Tidore Kepulauan Dalam Tahun 2006

2. Kependudukan Dan Pendidikan
Berdasarkan hasil registrasi penduduk dalam tahun 2003 jumlah penduduk Kota Tidore Kepulauan adalah 78.966 orang. Adapun tingkat penyebaran penduduk yang telah di registrasi dalam tahun 2006 dapat di lihat pada tabel 3 sebagai berikut;

Tabel 3. Jumlah Berdasarkan Kecamatan Di Kota Tidore Kepulauan Dalam Tahun 2004
No.
Nama Kecamatan
Jumlah Penduduk
1.
Kecamatan Tidore
25. 328
2.
Kecamatan Tidore Selatan
13. 181
3.
Kecamatan Tidore Utara
14. 520
4.
Kecamatan Oba
13. 485
5.
Kecamatan Oba Utara
15. 539
Sumber : Kota Tidore Kepulauan Dalam Angka Tahun 2004
Bila di lihat dari jenis kelamin per kecamatan maka di ketahui bahwa jumlah penduduk perempuan adalah 40. 565 orang sedikit lebih kecil dari jumlah penduduk laki-laki yaitu 41. 488 orang. Secara jelas keberadaan jenis kelamin penduduk dapat di lihat pada tabel 4 di bawah ini.


Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin Per-Kecamatan Tahun 2006
Kecamatan
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
1
2
3
4
Tidore
Tidore Selatan
Tidore utara
Oba
Oba Utara
12.683
6.469
7.275
6.954
8.107
12.645
6.712
7.245
6.531
7.432
25.328
13.181
14.520
13.485
15.539
Kota Tidore Kepulauan
41.488
40.565
82.053
Sumber : Angka Sementara Registrasi Penduduk Akhir Tahun 2005 Kota Tidore Kepulauan Dalam Angka Tahun 2006
Mengenai jumlah penduduk bila di tinjau berdasarkan tingkat pendidikan serta jumlah guru dan dosen yang ada di Kota Tidore Kepulauan dalam tahun 2005 dapat di lihat pada tabel 5 dan 6 yang tertera di bawah ini.
Tabel 5.  Jumlah Penduduk Usia Sekolah Di Kota Tidore Kepulauan Tahun 2006
NO
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH
KETERANGAN
1.
2.
3.
4.
5.
Taman Kanak-Kanak
Sekolah Dasar
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
28
829
449
305
765


Jumlah
19.820

Sumber : Dinas Pendidikan Nasional Tahun 2006
Tabel 6. Jumlah Guru Dan Dosen Di Kota Tidore Kepulauan Menurut Tingka Pendidikan Tahun 2006
NO
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH GURU/DOSEN
KET.
1
2
3
4
5
Taman Kanak-Kanak
Sekolah Dasar
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
28
829
449
305
3


J u m l ah
1.581

Sumber : Dinas Pendidikan Nasional Tahun 2006

3. Agama
Sebelum terjadinya konflik kemanusiaan yang melanda seluruh provinsi Maluku dan Maluku Utara sejak tahun 1999 secara khusus di Pulau Tidore yang kini telah berstatus otonom. Kota Tidore Kepulauan penduduknya memeluk agama yang berfariasi yaitu Islam, Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Kehidupan penduduk yang berbeda agama itu terjalin dengan sangat oleh karena mereka semua ada dalam ikatan adat dan budaya Moloko Kie Raha (penduduk asli). Adapun penduduk pendatang (termasuk yang beragama Hindu dan Budha) yang menetap di sana juga dengan cepat dapat menyesuaikan diri dengan keadaan setempat sehingga umumnya kehidupan kegiatan keagamaan dapat berjalan dengan baik di mana perasaan saling menghargai sangat tinggi.
Kelangsungan hidup saling menghargai dan menghormati yang telah berjalan berabad-abad yang lalu yang telah menjadi darah daging bagi seluruh masyarakat yang ada disana di tandai dengan adanya bangunan-bangunan keagamaan berupa gereja, mesjid dan para penganut agama masing-masing. Demikian pula dengan kebersamaan dalam menjalankan adat dan kebiasaan sehari-hari yang di wujudkan dalam sikap saling tolong- menolong. Sayang sekali tiba-tiba saja terjadi konflik sosial yang berkepanjangan yang bernuansa Sara sehingga pada akhirnya terjadi segresi tempat tinggal berdasarkan agama. Konflik telah meluluhlantahkan harmonisasi hubungan antara berbagai pemeluk agama yang telah dijalin cukup lama. Konflik pulalah yang menyebabkan hancurnya sejumlah rumah ibadah yang telah dibangun dengan dilandasi jiwa kebersamaan.  Saat ini mayoritas penduduk pada Kota Tidore Kepulauan adalah beragama Islam, di ikuti penduduk yang beragama Kristen Protestan, Kristen Katolik dan penduduk penganut agama Hindu dan Budha. Secara lengkap jumlah penduduk berdasarkan agama dan sarana peribadatannya dapat di lihat pada tabel 7 dan 8 di bawah ini.
Tabel 7. Jumah Pemeluk Agama Di Tidore Kepulauan Dirinci Per-Kecamatan Tahun 2006.
Kecamatan
Islam
Kristen
Protestan
Kristen
Katolik
Hidnu/
Budha
Lainnya
Jumlah
1
2
3
4
5
6
7
Tidore
Tidore Selatan
Tidore Utara
Oba
Oba Utara
24.718
12.566
14.557
13.387
12.638
-
-
-
1.954
4.300
-
-
-
23
525
-
-
-
-
3
-
-
-
-
-
24.774
12.566
14.557
15.364
17.470
Jumlah
77.866
6.254
525
59

84.731
Sumber: Kota Tidore Dalam Angka Tahun 2006

Tabel. Jumlah Tempat Peribadatan Di Kota Tidore Kepulauan Dirinci Per-Kecamatan Tahun 2006
Kecamatan
Mesjid
Musollah
Gereja
1
2
3
4
Tidore
Tidore Selatan
Tidore Utara
Oba
Oba Utara
Tidore
Tidore Selatan
Tidore Utara
Oba
Oba Utara
24
14
29
23
25
48
23
27
6
9
Jumlah
115
113
1
Sumber: Kota Tidore Dalam Angka Tahun 2006

4. Lambang  Kota Tidore dan Maknanya
Lambang Kota Tidore bernama RAU PARADA bermakna filosofi sebagai sarana kehidupan kearifan lokal untuk mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Dasar Lambang Daerah berbentuk perisai bersudut lima berwarna kuning dengan pita putih bermakna sebagai pelindung segenap komponen masyarakat dan Sumber Daya Alam dari berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Pita merah putih yang mengelilingi perisai  bersudut lima bermakna seluruh masyarakat Kota Tidore Kepulauan bertekad untuk senantiasa berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bintang berwarna putih bermakna Ketuhanan Yang Maha Esa dan Maha Suci yang senantiasa melimpahkan rahmat dan nikmat serta kemakmuran dan kesejahteraan hidup umat manusia, merupakan gambaran bahwa mesyarakat Kota Tidore Kepulauan adalah masyarakat religius yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bulatan telur menggambarkan bumi Kota Tidore Kepulauan masih menyimpan berbagai potensi Sumber Daya Alam dan Sumber daya Manusia yang belum dikelola secara maksimal. Potensi terpendam dimaksud dapat memberikan kontribusi riel untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Kota Tidore Kepulauan.
Pala dan Cengkih yang berjumlah lima bermakna bulan kelima          (Mei) yaitu bulan diresmikannya Kota Tidore Kepulauan. Pala dan Cengkih merupakan komoditi daerah yang cukup dikenal sejak jaman dahulu kala oleh Dunia Internasional.
Angka 2003 adalah tahun lahirnya Kota Tidore Kepulauan gabungan makna angka sebagaiana dimaksud pada ayat (4), (5) dan (6) bermakna Kota Tidore Kepulauan diresmikan pada 31 Mei 2003.
Daun Kelapa dan Daun Sagu yang berjumlah 22 helai dengan gelombang laut berjumlah 13 bermakna histories yaitu terjadinya Konfrensi Moti pada tahun 1322 yang melahirkan pembagian empat wilayah kekuasaan Moloku Kie Raha dimana Tidore sebagai Kie Makolano yang mempunyai kekuasaan pertahanan dan keamanan dalam wilayah Moloku Kie Raha. Kelapa dan Sagu melambangkan komoditi utama masyarakat Kota Tidore Kepulauan yang dijadikan sebagai makanan pokok sejak jaman dahulu.
Pulau Tidore yang dilambangkan dengan gunung berwarna putih berlatar belakang Pulau Halmahera bermakna Kota Tidore Kepulauan merupakan daerah kepulauan yang terletak digaris khatulistiwa yang wilayah meliputi Pulau Tidore, Pulau Maitara, Pulau Mare dan sebagian Pulau Halmahera bagian tengah yaitu Kecamatan Oba dan Kecamatan Oba Utara.
Mayang Pinang berwarna kuning dengan 31 butir bermakna Kota Tidore Kepulauan diresmikan pada tanggal 31. Mayang Pinang mempunyai arti filosofi sebagai sarana untuk memohon keselamatan dan keberkatan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Tifa berwarna coklat muda adalah alat kesenian tradisional sebagai perwujudan untuk menyatukan langkah dan gerak dalam semangat kebersamaan masyarakat Kota Tidore Kepulauan yang tak kunjung padam untuk mengisi pembangunan daerah.
Gong warna coklat tua adalah alat kesenian tradisional yang menggambarkan kebudayaan Tidore yang bersifat progresif dan terbuka menerima budaya lain. Gong pada jaman dulu berfungsi sebagai alat pewarta penguasa dan bunyi gong merupakan seruan kebulatan tekad untuk mewujudkan tujuan pembangunan.
Parang dan Salawaku berwarna hitam, melambangkan jiwa kepahlawanan serta kesiapsiagaan dalam membela kehormatan dan Daerah Kota Tidore Kepulauan.
Perahu Kora-Kora berwarna putih, sebagai sarana transportasi laut dan armada laut dalam pengamanan wilayah Kota Tidore Kepulauan dari berbagai ancaman dan gangguan. Perahu Kora-Kora juga sebagai sarana kehidupan para nelayan.
Salempang kebesaran berwarna putih bergaris tepi merah bertulisan Toma Loa Se Banari berwarna hitam bermakna bahwa keberkatan, keselamatan dan kehormatan akan dapat diraih oleh masyarakat, apabila masyarakat senantiasa menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran dalam menyelenggarakan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.
Nilai-nilai luhur yang telah ditanamkan sejak jaman Kesultanan pertama hingga kini masih tetap terpatri dalam setiap jiwa masyarakat Tidore Kepulauan. Nilai ini pulalah yang mengisi makna dari lambang Kota Tidore Kepulauan. Intensitas yang ada dalam makna merupakan jiwa kejuangan dan rasa pengorbanan yang tinggi yang telah diwariskan oleh para  leluhur. Makna dalam lambang telah menjiwai seluruh aparat pemerintah kota Tidore untuk berjuang dalam mengembang amanat leluhur demi kejayaan kembali Tidore seperti pada masa Silam.

B. ORGANISASI SOSIAL
Di Pulau Tidore terdapat kesatuan masyarakat kecil yang disebut Soa. Mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Dukuh. Kepala atau pemimpin Soa disebut Fomanyira yang artinya orang tertua. Selanjutnya beberapa Soa membentuk satu kampung yang dikepalai oleh seorang Gimalaha. Gimalaha kemudian membentuk persekutuan yang lebih besar yang disebut Boldan. Boldan dikepalai oleh seorang Kolano. Keadaan ini berlaku pula di Ternate dan Bacan. Boldan adalah suatu bentuk politik yang dikuasai oleh Kolano dan dapat dikatakan sebagai awal dari kerajaan di Maluku Utara. Sebutan Boldan dan Kolano kemudian menghilang dan diganti dengan Sultan.
Sultan adalah kepala pemerintahan yang tertinggi dimana dalam pemerintahannya itu, Sultan dibantu oleh tiga orang pejabat tinggi lainnya yaitu Jogugu atau Wakil Sultan, Kapita Lao yang mengurusi armada Kerajaan dan Hukom yang dapat disamakan dengan Hakim Tinggi. Ketiga pejabat Negara ini masuk dalam badan pemerintahan yang dinamakan Bobato Medopolo Jogugu sebagai kepala Bobato, Kapita Lao yang bertanggung jawab atas masalah-masaah keamanan dan peperangan, sedangkan Hukom atau Hukom Soa Siwa mengurus masalah-masalah dalam negeri. Khusus untuk Hukom Soa Siwa ini mempunyai peranan dan memiliki kekuasaan besar, karena pengangkatan seorang Sultan baru adalah termasuk didalam Hukom Soa Siwa.  Demikian pula segala keputusan penting yang diambil oleh Sultan atau ketiga pegawai tinggi lainnya harus mendapat persetujuan Hukom Soa Siwa.
Apabila Hukom Soa Siwa menangani masalah-masalah dalam negeri maka untuk urusan luar negeri diserahkan kepada Hukom Sangaji. Dibawah badan pemerintahan Bobato Medopolo terdapat suatu dewan bangsawan yang disebut Bobato Nyoigimoi Se Tofkanga yang berjumlah 18 orang dimana ke 18 orang anggota ini berasal dari marga Soa Siwa sebanyak 9 orang dan marga Sangaji sebanyak 9 orang. Mereka yang berhak mejadi anggota dewan ini adalah para Gimalaha yang berjumlah 5 orang dan Fomanyira sebanyak 4 orang. Gimalaha dan Sangaji adalah wakil-wakil Sultan yang memerintah di daerah-daerah, sedangkan Fomanyira adalah Kepala Soa yang juga dinamai Orang Kaya.
Dewan Bobato Nyoigimoi Se Tofkanga berfungsi untuk meletakkan adat istiadat sekaligus mengendalikan serta mengatur tata kehidupan masyarakat. Selain itu pula ada semacam Dewan Perwakilan Rakyat dinamakan Gamraha. Anggotanya terdiri dari marga-marga Soa Siwa, Sangaji, Heku dan Cim. Mereka bertugas dalam mencalonkan seorang Sultan, yang biasanya sesuai tradisi dan adat adalah berasal dari keturunan tertentu, dan haruslah seorang anak lelaki pertama dari Sultan. Pejabat penting lain di dalam pemerintahan Sultan ialah Salahakan. Jabatan ini merupakan perwakilan Sultan untuk daerah-daerah otonom yang letaknya jauh dari pusat kerajaan.
Mengenai urusan keagamaan didalam pemerintahan dikenal ada suatu badan adat yang disebut Jou Lebe (Badan Syara). Badan ini dikepalai oleh Kadhi atau Kalem, yang anggotanya terdiri dari para Iman dan Khatib. Adapun untuk urusan sehari-hari di dalam istana dikelola oleh suatu badan yang disebut Ngofangare. Badan ini terperinci dalam urusan rumah tangga Istana, Urusan Keamanan.
Urusan dalam Rumah Tangga Kesultanan terdiri dari beberapa pejabat dengan tugas masing-masing sebagai berikut :
1.     Imam Soadara yaitu ajudan pribadi Sultan
2.     Imam Sawohi yaitu menangani urusan Protokol Kesultanan.
3.     Syahbandar yaitu yang mengurus pelabuhan, Urusan Perdagangan.
4.     Sadaha Kadato yaitu yang mengurus Sekretaris Kesultanan.
5.     Tuli Lamo yaitu yang mengurus Sekretariat Kesultanan.
Urusan keamanan dalam Rumah Tangga Sultan terdiri dari 2 unsur utama yaitu:
1.     Kapita Kie berfungsi sebagai komandan, yang membawahi Sadaha Kie, Letnan-Letnan, Sajeti, Marinyo dan Kebo.
2.     Pasukan Kehormatan terdiri dari 3 unsur juga yaitu Baru-Baru, Orimaahi dan Opas Salaka. Pada umumnya pasukan kehormatan dikepalai langsung oleh putera-putera Sultan dengan pangkat Mayor Ngofa dan Letnan Ngofa.
Dengan kata lain aparat pembantu Sultan yaitu suatu lembaga adat yang dikenal dengan nama “Bobato Adat”. Lembaga adat biasanya dibagi-bagi  dalam dua bagian yaitu: Bobato Akhirat dan Bobato Dunia. Bobato Dunia berfungsi sebagai badan legislatif dan memberi nasehat tentang hal-hal yang menyangkut soal-soal keagamaan, sedangkan Bobato Akhirat mengurus hal-hal yang berhubungan dengan warga, yaitu Soa Heku dan Soa Cim.
Didalam perkembangan masyarakat di Maluku Utara, khususnya dalam bidang pemerintahan masyarakat mulai mengenal penggolongan-pengglongan sebagai berikut :
1.     Golongan Sangaji.
2.     Golongan Manyira.
3.     Golongan Mahimo.
Golongan Sangaji adalah golongan tertinggi dalam masyarakat dan mereka terdiri dari keluarga Sultan dan Para Bangsawan Keraton. Golongan Manyira adalah golongan menengah dalam masyarakat dan terdiri dari Kaum Bangsawan Bukan Keraton termasuk didalamnya puteri-puteri dari selir Sultan. Adapun golongan Mahimo adalah golongan terendah dalam masyarakat. Mereka ini terdiri dari para pedagang,petani,budak keraton dan bangsawan serta rakyat dari daerah taklukan. Khusus untuk golongan ini mereka tidak berhak untuk memegang pucuk pimpinan dalam masyarakat.
Didalam dunia kepemimpinan, Sultan memegang pucuk pemerintahan dan berkuasa serta berpengaruh penuh. Masyarakat sangat segan dan hormat terhadap Sultan, sehingga apa yang diinstruksikan tidak pernah dibantah karena dianggap benar semuanya. Dilain pihak Sultan selain memimpin urusan dunia/pemerintahan ia juga berkewajiban memimpin dalam soal-soal keagamaan. Secara teori Sultan adalah “TUBADILUR RASUL”, pengganti rasul. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat bahasa dan tulisan Arab yang terera pada Cap Kesultanan. Karena itu pula Sultan dianggap sebagai pelindung rakyat karena memiliki kekuatan sakti yang dapat dipergunakan untuk membebaskan rakyatnya dari berbagai bahaya. Oleh sebab itu maka Sultanlah yang dianggap sebagai “DEWA” sehingga selalu disembah.
Didalam kehidupan sehari-hari, perubahan-perubahan yang terjadi lebih banyak menyangkut struktur pemerintahan dan kepemimpinan sedangkan pola-pola kemasyarakatan itu sendiri tetap dipertahankan antara lainnya sifat toleransi, kekeluargaan dan kegotong-royongan. Jiwa kegotong royongan merupakan manifestasi dari nilai-nilai luhur yang ditanamkan sejak jaman dahulu kala.




Struktur Kesultanan Tidore


 



                                                          I                            II


 

LABEE
  (SYARAA KALLEM)
 

JOJAU
 
KOMPANIA
(KAPITA KIYE)
 
IV
                                I                                 III
HUKUM
SOASIO
 
KAPITA
LAU
 
HUKUM
YADE
 
                             II                     I                       III
JOU
MAYOR
 
KAPITA
NGOFA
 
I                     II
 









C. SEJARAH SINGKAT PULAU TIDORE
Tidore yang sesungguhnya diawal sebutan adalah “Kie Duko” perkiraan pada abad kedua Hijriyah atau sekitar delapan ratus miladiyah. Pulau kecil ini pernah mengalami goncangan vulkanik dengan meletusnya gunung “Mar`ijang” yang mengeluarkan lahar panas yang kini membeku ditanjung Tongolo Wilayah Keluraha Tuguiha Kecamatan Tidore Selatan Kota Tidore Kepulauan. Penduduk pulau ini masih hidup terpencar-pencar dan bersuku-suku, setiap suku dikepalai oleh seorang kepala suku yang tangkas dan pemberani yang disebut Momole.
Momole atau kepala suku ini masing-masing memperlihatkan kemampuan dan kebolehannya terutama dalam perluasan wilayah tanah pertanian dan perkebunan dalam bahasa Tidore disebut “Jojoko” siapa yang lebih cepat menjelajahi wilayah atau Jojoko maka dialah yang berhak menguasai wilayah dan tanah tersebut. Kemudian sang Momole diangkat oleh masyarakat pengikutnya sebagai pemimpin. Tidore pada saat itu di bawa kepemimpinan beberapa orang Momole yang tersebar baik yang ada di pesisir maupun yang berada di lembah-lembah dan pegunungan. Namun sebelumnya pulau kecil ini di huni oleh sejenis mahkluk gaib yaitu “Jin” dan merekalah yang pertama kali mendiami puncak gunung ini yang bernama “Mar`ijang” yang artinya puncak gunung yang begitu indah. Sehingga pada tahun 200s/d 470 Hijriyah di sebut masa Jin Se Momole. Dalam periode Jin danMomole ini telah hadir juga seseorang yang berasal dari negeri Mastrib, Negeri matahari terbit yakni seorang Syech Buron dari Irak yang bernama Syeh Yakub menyiarkan Islam di Tidore dan Makian. Beliau ini bersama tiga orang temannya masing-masing.
Syech Mansyur menyiarkan Islam di Ternate dan Halmahera bagian depan, Syech Umar dan Amin masing-masing menyiarkan Islam di Patani Maba dan Halmahera bagian belakang yang kemudiannya keempat Syeh ini menghilang entah kemana, dan sampai dengan saat ini tak ada yang tahu di mana mereka berkubur sepi. Tidore diawal sebutan Kie Duko mempunyai keunikan dan sejarah yang panjang karena Tidore mengalami empat periode yaitu:
1.        Periode Jin dan Momole  : tahun 200 -470 Hijriyah.
2.        Periode Kolano Se irayat  : tahun 470 -508 Hijriyah .
3.        Periode Kolano Se ibobato  : tahun 502 -528 Hijriyah
4.        Periode Kolano  :Se ibobato
Pehak raha se isuduru : tahun 528 - 1095 Hijriyah.
Pada periode Jin dan Momole pulau kecil ini telah tumbuh hutan rempah-rempah yakni cengkih dan pala para pedagang Cina dan Mesir Kuno merahasiakan selama ribuan tahun Tidore sebagai penghasil rempah-rempah utama cengkih dan pala di dunia. Kemudian pulau kecil ini mengalami perobahan peradaban dengan kehadirannya seorang putra terbaik asal keturunan negeri matahari terbit yakni putra ketiga dari Tsyariful Rafiah Assaid Jafar Sadik dan Sitti Nur Syafa yang bernama Syahjat Muhammad Nakil. Muhammad Nakil di angkat dan dinobatkan sebagai Kolano Kie Duko pada 12 Rabiulawal tahun 502 Hijriyah. Dengan tampilnya Syahjat Muhammad Nakil Kie Duko (tidore) mulai memposisikan Islam pada posisi teratas walaupun syareat-syareat Islam belum dapat dijalankan secara utuh dan baik. Tahun berganti tahun peradaban penduduk dan kebiasaan-kebiasaannya mulai bergeser sedikit-demi sedikit. Lalu ketika Tidore mulai ramai, kaya dan berbudaya karena agama berbagai bangsa Eropa datang menyerbu dengan rakusnya. Kolano pertama ini bermukim di Rum dan mendiami sebuah rumah sederhana yang disebut Kadato Selawaring (Istanah Pelepah Beringin Yang Tangguh) lokasi kedaton tersebut berada di Rum Tua antara pelabuhan Speed Boad dan Dermaga Feri. Kolano ini bertahta ditahta kekolanoan tidak terlalu lama beliaupun wafat dalam usia yang relatif muda dan berkubur sepi entah dimana tak seorangpun tahu. Periode Polano ini yang disebut periode Kolano se–irayat  (Sultan bersama rakyat) belum terbentuk sistem pemerintahan, segala titah dan rintangan langsung Kolano kepada rakyat. Tahun berganti tahun tahta kolano silih berganti, tempat kediamanpun berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain yang di anggap aman dan strategis. Dari kolano pertama sampai pada kolano ke delapan,  kolano Matagena masih dalam periode kolano seirakyat.
Tidore pada periode kolano se Bobato tahun 502-528 Hijriyah masa kolano Ciriliyat. Pada masa kolano ini terbentuklah sistem pemerintahan dengan dua departemen atau Bobato yaitu Bobato dunia yang di kepalai oleh Jojau dan Bobato akhirat yang di kepalai oleh Jokalem. Pada masa kolano ini pula tiba dan hadir seorang ulama besar dari Mekah Syehk Almansyur turun diteluk Tongowai. Nama kolano inipun diberikan nama tambahan yakni Jamaluddin sekaligus perubahan nama kolano menjadi Sultan.
Perubahan ini terjadi pada tanggal 17 April tahun 1110 Miladia. Cemerlangnya Tidore berawal dan berangkat dari tahun tersebut.Tidore pun semakin ramai dikunjungi oleh para pedagang baik muslim maupun non muslim.
Dari berbagai belahan dunia seperti Mesir, Cina, Persia maupun Gujarat dan lainnya dengan membawa serta seni budaya mereka masing-masing telah mewarnai dan menambah khasanah budaya di pulau ini. Setelah wafatnya Sultan Jamaluddin, diangkatnya putra tercinta Mansur menjadi Sultan Tidore yang ke sepuluh dan Sultan inilah yang memperluas wilayah kekuasaan kesultanan Tidore hingga  ke daerah Papua.
Tahun berganti tahun tahta kesultanan silih berganti sistem pemerintahanpun ikut berubah Tidorepun semakin di kenal dimata dunia. Pada saat naik tahta Syaifuddin Syah, alias kaicil Golofino Sultan yang ke dua puluh. Naik tahta pada 3 Rabiul awal 1657 Sultan inilah yang menata dan menyempurnakan sistem pemerintahan dengan empat departemen, sekaligus memberikan hak otonomi di wilayah-wilayah termasuk di belahan bagian Barat pulau Tidore yakni Sangaji Laisa dan Laho di Mareku. Sultan ini bersemayam di singgasana kesultanan berkedudukan di Toloa dan mendiami Kadaton Bijinagara ( Istana Anak Negeri) pada masa Sultan inilah yang disebut periode “Kolano Se Bobato Pehak Raha Seisuduru“ Sultan dengan empat departemen bersama stafnya. Pada masa kekuasaan Sultan inilah Tidore mengalami perubahan yang sangat drastis. Tidore tidak lagi menganut sistem putra mahkota akan tetapi mengarah pada sistem pelimpahan wewenang ke wilayah-wilayah, sistim pembagian hasil yang merata, dan pertumbuhan ekonomi pun semakin membaik membuat rakyat semakin makmur. Roda pemeritahan ini berjalan kurang lebih beberapa tahun saja, kemudian atas pertimbangan keadaan alam dan geografi Ibu Kota Toloa dipindahkan lagi ke Limau Timore ( Soasio sekarang). Sungguh sulit membayangkan kebesarannya dulu ketika Tidore mulai berbudaya karena agama berbagai bangsa datang menyerbunya. Kehadiran para ulama Syufi dari berbagai Negara nan jauh ikut menabur bunga rampai nan hijau yang semerbak wanginya menyusur jalan dan lorong-lorong kecil, bahkan menembus sampai ke gunung dan lembah, ngarai nan curam. Tidore di mata dunia ibarat sebutir mutiara hitam…. Sejarah telah mencatat sejumlah pemimpin-pemimpin politik dan spiritual bahkan tokoh-tokoh agama dan ulama negri ini terpaksa mengangkat kaki mereka hidup di bumi pengasingan nan jauh di Digul Papua dan Nusakambangan bahkan ada yang sampai di Robbin Island semenanjung Afrika Selatan. Hittah dan perjuangan mereka para pendahulu semata-mata mempertahankan bumi Tidore Mar’ijang dari penindasan dan perbudakan dari bangsa-bangsa dan orang-orang yang tak ber-peri kemanusiaan.
Tidore pada paskah Kemerdekaan Republik Indonesia lagi-lagi mandapat penghargaan dan kepercayaan dari pemerintah sebagai ibu kota perjuangan pembebasan Irian Barat dengan Ibu negerinya Soasio dengan Gubernur Bapak Zainal Abidin Syah, juga Sultan Tidore yang ke-35. Sultan ini juga sangat besar jasanya dalam pengembalian Irian Barat ke Negara kesatuan Republik Indonesia. Setelah Irian Barat di akui kedaulatannya, Tidore mengalami nasib yang mengambang sekian puluhan tahun, namun atas berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa di sertai dengan perjuangan nan luhur Tidore menjadi kabupaten, dengan sebutan kabupaten Halmahera Tengah membuahi 6 kecamatan. Kabupaten inipun tidak berjalan lama kurang lebih 12 tahun di mekarkan lagi yaitu Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan.Hari ini kita hadir dengan segala keterbatasan namun dengan raut muka dan wajah yang penuh ceria memperingati Hari Ulang Tahun Pemerintahan Kota Tidore Kepulauan     ke – 1 Insyah Allah pada tahun 2005 nanti tepatnya tanggal 17 April kita akan memperingati hari ulang tahun Tidore Kepulauan yang 884, itupun harus melalui suatu kajian ilmiah melalui seminar sehari melibatkan tokoh-tokoh sejarawan, pemerhati-pemerhati budaya, generasi muda, para intelektual, tokoh adat dan tokoh masyarakat serta para akademika. Sejarah mencatat Tidore bukan pulau dan negri tempat pertumpahan darah, Tidore di bangun dengan dasar “Sah Se Fakat” pengambilan keputusan atas dasar musyawarah dan mufakat. Dasar pijak negri ini adalah “Toma Ua Yang Moju, Ge Jou Se Ngofangare” yang kiasannya, Diawal Kejadian Hanyalah Engkau Dengan Aku, Sang Khalik Dengan Hambanya. Sang Pemimpin dengan Rakyatnya.

D.  KILAS      BALIK     MAREKU     DALAM    PEMERINTAHAN SANGAJI   JIKO   MALOFO.

Kelurahan Mareku yang kita kenal hari ini adalah berasal dari dua pemerintahan Sangaji, yakni Sangaji Laisa dan Sangaji Laho. Wilayah berbatuan yang dimilikinya menggambarkan sikap mental masyarakatnya yang tegar bagaikan dinding batu yang tahan getaran dan deburan ombak. Secara geografis memiliki kurang lebih 75% wilayah Tidore Utara Barat, yaakni sebagian Desa Bobo sampai wilayah Rum dan Telaga. Kedua Sangaji sebagaimana di ungkapkan lebih dikenal dengan sebutan Sangaji Jiko Malofo.
Penggunaan nama tersebut cukup beralasan, justru berada dalam dua Jiko ( teluk ) yakni Jiko Itolamo Sema Gurua Tagalaya dan Jiko Akebai Sema Sum Tobaru. Di satu sisi pengertian Sangaji Jiko Malofo juga memiliki nilai falsafah marimoi, yakni nilai falsafah yang mengarah pada upaya pengembangan dan penyatuan dua pemerintahan Sangaji dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam pertahanan dan keamanan wilayah. Itulah konsep wawasan nusantara yang pernah tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Sangaji Jiko Malofo.
Pendelegasian wewenang dari Sultan Tidore kepada Sangaji Jiko Malofo di Mareku selain mambantu Sultan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan, juga memiliki nilai yang sangat strategis sebagai langkah antisipasi terhadap penyerangan hongi-hongi Ternate dan Kompeni melalui kawasan Barat pulau Tidore.
Pada era pemerintahan Sangaji Jiko Malofo telah memberikan nuansa di berbagai aspek, salah satu di antaranya telah mampu menata pemerintahan yang dalam mekanisme dan operasionalisasinya di kenal dengan Bobato Akhirat  dan Bobato Dunia.
Bentuk pemerintahan Sangaji baik di pulau Tidore, Halmahera, maupun Papua adalah suatu bentuk otonomi luas yang di berikan oleh Sultan Tidore tanpa adanya intervensi pihak Kesultanan. Itulah sebabnya selama Papua bernaung di bawah kesultanan Tidore tidak pernah menunjukkan sikap yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Tertangkapnya Sultan Jamaludin Syah pada tahun 1779 oleh Thomaszen dan pergantian Sultan-Sultan sesudahnya memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan dan perjalanan sejarah Sangaji Jiko Malofo di Mareku, justru memiliki sikap politik yang berbeda. Namun demikian Nuku tatkala meninggalkan bumi kelahirannya pada tanggal 14 juli 1780 mengembara di Halmahera Seram dan Papua, sempat menitipkan pesan kepada Sangaji Jiko Malofo di Mareku, yang di kenal dengan BORERO JOU, Yakni IFA NO ELI LADA BALA MA JOU LADA UA yang artinya “jangan bertuan pada Belanda karena Belanda bukan pimpinan rakyat”.   Pesan ( Borero)  yang di sampaikan adalah sikap politik Nuku yang non koperation. Sekaligus adalah isyarat kepada Sangaji Jiko Malofo agar tetap mempertahankan eksistensinya untuk tidak bekerja sama dengan Kompeni Belanda.
Kesultanan Tidore bahkan Kie Raha yang menyadarkan adat pada KITABULLAH dan SUNATURRASUL telah mengilhami pelaksanaan pemerintahan Sagaji Jiko Malofo. Olek karena adat dan budaya yang muncul di kesultanan Tidore maupun Sangaji Jiko Malofo memiliki nilai ritual yang sangat Islami. Hal itu terlihat jelas pada setiap panji Kie Raha yang terpampang secara eksplisit KALIMATULLAH dan KALIMATURRASUL yang adalah substansi adat negeri ini.
Pada pemerintahan Sangaji Jiko Malofo di Mareku terdapat hal yang sama, bahkan pada panji ke dua Sangaji di Mareku terhadap kalimat : LAI SA KAMISLA SAI UN dan  kalimat LA HAO LA WALA KUWATA ILLA BILLAH Yang terdapat dalam substansi nama Sangaji Laisa dan Sangaji Laho.
Dari uraian di atas memberikan pengertian bahwa leluhur negeri ini pernah meletakkan Islam dalam porsi yang tertinggi dalam penyelenggaraan Negara.
Adanya falsafah SANGAJI I KADATO SIGI SE I NGAM ALIF SE BAITULLAH telah mengisyaratkan kepada kita bahwa Sangaji bukan sekedar memegang kekuasaan birokrasi tetapi sesungguhnya adalah ULIL AMRI yang bertanggung jawab dalam hal keagamaan dan peribadatan.
Perkembangan Sagaji Jiko Malofo selanjutnya telah tercatat berbagai rentetan pertstiwa yang masih segar di ingat oleh tua-tua di Mareku, di antaranya adalah :
Peristiwa perlawanan Sangaji Jiko Malofo terhadap Belanda pada tahun 1907. Sehubungan dengan penagihan pajak atau blasting oleh pemerintan kolonial Belanda. Peristiwa yang di awali dengan pertemuan sekutu, di bawah pimpinan Sangaji Kader, Sangaji Saleh dan Kalem Abdullah, bersemboyang TO HOLU TO COU LADA KANGELA NYINGA. Semboyan sebagaimana dimaksud adalah pernyataan politik Sangaji Jiko Malofo, yang berarti :
KAMI TIDAK  RELA MENGABDI PADA BELANDA,  KARENA BERTENTANGAN DENGAN HATI NURANI 
Adalah sangat identik dengan pembukaan UUD 1945, khususnya alinea pertama yakni Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus di hapuskan Karena tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan pri keadilan. Peristiwa yang berakibat tertangkapnya TRIO PEMIMPIN SANGAJI tersebut dan di asingkan ke Digul Papua itu memberikan suatu pukulan berat bagi masyarakat Sangaji. Namun pemimpin yang bijaksana tidak menginginkan jatuh korban di pihak rakyat yang lebih besar tetap meyakini rakyatnya untuk tidak mengadakan perlawanan, walaupun mereka sadar bahwa rakyatnya tidak menginginkan pimpinannya di tangkap.
Hari ini Sangaji Jiko Malofo serta Sultan Tidore telah di eksiskan kembali, meskipun kami sadar bahwa Sangaji tidak lagi memegang kekuasaan birokrasi, tetapi paling tidak adalah tokoh dan pemimpin kemasyarakatan yang dapat di teladani.
Eksistensi Sangaji dan Sultan Tidore hari ini juga adalah membingkai kembali semangat kekeluargaan dan kebersamaan dengan bingkai adat, budaya dan sejarah.

E.  ASAL-USUL DAN FUNGSI PEMERINTAHAN SANGAJI.

1.     Asal Usul Sangaji Sebagai Pemerintahan Adat
Kata sangaji berasal dari kata : SE INGO NGAJI Yang artinya dia memiliki hak sebagai pemimpin. Sangaji selaku pemerintahan adat yang berkedudukan di Mareku dibentuk oleh Sultan Tidore dengan tugas utama untuk melindungi vasal kesultanan Tidore yang ada di wilayah Utara pulau Tidore. Sangaji selaku jabatan adat dibawah sultan dalam  pembentukannya ditentukan berdasarkan kriteria-kriteria khusus dan kriteria-kriteria tersebut selalu berhubungan erat dengan falsafah kesultanan Tidore.
Berdasarkan catatan perjalanan sejarah kesultanan Tidore, penentuan jabatan sangaji selaku jabatan adat dibawah Sultan ditentukan jabatannya dengan kriteria yang meliputi :
a.     Sangaji Cocatu yaitu sangaji yang di angkat karena kesatriaannya  ( kepahlawanan ).
b.     Sangaji Adat yaitu sangaji yang di angkat berdasarkan garis keturunan, dan tata cara penentuan dan pelaksanaan jabatan sangatlah sakral.
Sebagai gambaran atas penentuan jabatan sangaji selaku pemerintahan adat berdasarkan kriteria diatas, di pusat pemerintahannya Mareku Sangaji dibagi menjadi dua bagian, masing-masing adalah:
1. Sangaji Laisa yang berstatus sebagai sangaji adat.
2. Sangaji Laho yang berkedudukan sebagai sangaji Cocatu.
Pemberian nama Sangaji Laisa dan Sangaji Laho memiliki nilai ritual  yang  sangat  Islami yaitu :  terdapat  kalimat LAISA KAMISLI
SAI UN ( Laisa ) dan LA HAO LA WALA KUATA ILLA BILLAH    ( Laho ).
Kehadiran Sangaji selaku  pemerintahan adat  memberikan nuansa sebagai berikut :
1.     Masyarakat taat terhadap hukum adat (aturan-aturan yang berlaku).
2.     Masyarakat hidup dalam bingkai persatuan. 
Mareku pada awalnya hanya ada 1 sangaji yaitu Sangaji Mareku dan ini berlangsung pada masa Kesultanan Jou Seli. Akan tetapi dalam taraf perkembangan  lebih lanjut hadir sangi Laho.
Sangaji Laho pada awalnya merupakan perpindahan dari Sangaji Tuguiha. Hal ini terjadi karena pada saat perebutan wilayah Weda, Sangaji Tuguiha gagal dalam pelaksanaan tugasnya. Karena hal tersebut Sultan meminta bantuan pada Sangaji Mareku.
Intersep sejarah yang dilakukan terhadap kedua Sangaji membuktikan bahwa pada awal mula Sangaji Laisa di sebut dengan Sangaji Banga dan  Sangaji Laho di sebut dengan Sangaji Buku. Jabatan Sangaji Laho diberikan karena di lihat dari perjuangannya sedangkan Sangaji Laisa merupakan Sangaji adat.  
Batas wilayah Sangaji Mareku meliputi 75% Bagian Barat dari Bobo sampai Rum ( Buku Matiti ). Vasal adat dari kedua Sangaji tersebut masing-masing meliputi;
a.     Wilayah kekuasaan Sangaji Laisa terdiri dari Afa-Afa, Sirongo, Bua-Bua, Tomaonge, Tudurabo,  Tomarange, Tomarora.
b.     Wilayah kekuasaan Sangaji Laho : Ake Ragi, Hale Joko (diserahkan kesultanan pada saat kerajaan Tidore berpusat di Toloa).
Yang menjadi Sangaji Laisa pertama adalah Sangaji Kiyal pada masa pemerintahan Jou Seli sedangkan Yang menjadi Sangaji Laho pertama adalah Sangaji Kecuba juga pada masa pemerintahan Jou Seli.

2.                 Fungsi danTujuan Sangaji
 Intensitas sejarah menunjukkan bahwa pemerintahan adat Sangaji Jiko Malofo dibentuk oleh Sultan Tidore dengan fungsi dan tujuan yang meliputi;
a.  ULIL AMRI Yang bertanggung jawab pada rakyat.
b.  Melaksanakan     perintah    agama    Islam   ini   berkaitan   dengan
semboyan Sangaji IKADATON SIGI SE  INGAM ALIF SE BAITULLAH.
Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, kedua Sangaji harus berembuk dalam memecahkan persoalan-persoalan pemerintahan dan adat yang ada diwilayah masing-masing dengan bobato-bobatonya       ( Lembaga-Lembaga adat ). Bobato-bobato yang ada dikedua Sangaji masing-masing adalah :
a.     Bobato Sangaji Laho meliputi;
  - Bobato Dunia yang terdiri dari;
1.     Gimalaha Bobo, pertahanan keamanan, Umar Ismail.
2.     Gimalaha Gamgulu, Samsudin Gamgulu, Tukang di bagi yaitu
- Fola Imam
- Fola Tukang
3. Gimalaha Tomanyira Husen Tumanyira, Tuan-tuan yang ada di kampung
- Bobato Akhirat = hal-hal yang menyangkut dengan keagamaan dan seluruh ada dibawah tanggung Jawab Imam Mesjid dan pembantu-pembantunya (Badan Sarah).
b.    Bobato Sangaji Laisa
- Bobato dunia yang terdiri dari;
1. Gimalaha Togam, pertahanan dan keamanan.
2. Ngato Mareku Bulo, urusan dalam negeri.
3. Ngato Mareku Kotu, urusan rumah tangga Sangaji.
- Bobato Akhirat = Tugas dan urusan keagamaan tetap dibawah  tanggung jawab bobato akhirat.

3. Fungsi  Lembaga-Lembaga Adat Pada Pemerintahan Sangaji.
a.     Fungsi Bobato Dunia
Bobato Dunia diberi Tugas dan tanggung Jawab untuk mengurusi masalah yang menyangkut dengan tatanan suatu pemerintahan adat yang meliputi, masalah ekonomi, sosial, politik, pertahanan keamanan untuk mecapai tujuan dari Bobato Dunia itu sendiri yakni masyarakat adat yang aman dan sejahtera.
b.    Fungsi Bobato Akhirat
Bobato akhirat diberi tugas dan tanggung jawab untuk mengurusi masalah-masalah keagamaan yang meliputi perkawinan, pewarisan, dan syariat Islam yang berlaku.
                                                               


B A B   V
P  E  N  U  T  U  P
A. Kesimpulan
1.   Di Pulau Tidore terdapat kesatuan masyarakat kecil yang disebut Soa. Mereka mendiami suatu wilayah yang disebut Dukuh. Kepala atau pemimpin Soa disebut Fomanyira yang artinya orang tertua. Selanjutnya beberapa Soa membentuk satu kampung yang dikepalai oleh seorang Gimalaha. Gimalaha kemudian membentuk persekutuan yang lebih besar yang disebut Boldan. Boldan dikepalai oleh seorang Kolano. Kolano inilah yang menjadi cikal bakal Kesultanan.
2. Didalam dunia kepemimpinan, bagi masyarakat Tidore Sultan memegang pucuk pemerintahan dan berkuasa serta berpengaruh penuh. Masarakat sangat segan dan hormat terhadap Sultan, sehingga apa yang diinstruksikan tidak pernah dibantah karena dianggap benar semuanya.
3.  Tidore yang sesungguhnya diawal sebutan adalah “Kie Duko” perkiraan pada abad kedua Hijriyah atau sekitar delapan ratus miladiyah. Pulau kecil ini pernah mengalami goncangan vulkanik dengan meletusnya gunung “Mar`ijangh seorang kepala suku yang tangkas dan pemberani yang disebut Momole.
4.  &nb” yang mengeluarkan lahar panas yang kini membeku ditanjung Tongolo Wilayah Keluraha Tuguiha Kecamatan Tidore Selatan Kota Tidore Kepulauan. Penduduk pulau ini masih hidup terpencar-pencar dan bersuku-suku, setiap suku dikepalai olesp;Bentuk pemerintahan Sangaji baik di pulau Tidore, Halmahera, maupun Papua adalah suatu bentuk otonomi luas yang di berikan oleh Sultan Tidore tanpa adanya intervensi pihak Kesultanan.
5.   Pendelegasian wewenang dari Sultan Tidore kepada Sangaji Jiko Malofo di Mareku selain mambantu Sultan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan kemasyarakatan, juga memiliki nilai yang sangat strategis sebagai langkah antisipasi terhadap penyerangan hongi-hongi Ternate dan Kompeni melalui kawasan Barat pulau Tidore.
6. Peristiwa perlawanan Sangaji Jiko Malofo terhadap Belanda pada tahun 1907. Sehubungan dengan penagihan pajak atau blasting oleh pemerintan kolonial Belanda. Peristiwa yang di awali dengan pertemuan sekutu, di bawah pimpinan Sangaji Kader, Sangaji Saleh dan Kalem Abdullah, bersemboyang To Holu To Cou Lada Kangela Nyinga,  yang artinya; Kami Tidak  Rela Mengabdi Pada Belanda,  Karena Bertentangan Dengan Hati Nurani.
7.  Kata sangaji berasal dari kata : SE INGO NGAJI Yang artinya dia memiliki hak sebagai pemimpin.
8.   Berdasarkan catatan perjalanan sejarah kesultanan Tidore, penentuan jabatan sangaji selaku jabatan adat dibawah Sultan ditentukan jabatannya dengan kriteria yang masing-masing karena Cocatu (kepahlawanan) dan Sangaji adat karena jasanya dalam adat dan pemerintahan.
9.  Sebagai gambaran atas penentuan jabatan sangaji selaku pemerintahan adat berdasarkan criteria tertentu, pada pusat pemerintahannya Mareku Sangaji dibagi menjadi dua bagian, masing-masing adalah; Sangaji Laisa yang berstatus sebagai sangaji adat dan Sangaji Laho yang berkedudukan sebagai sangaji Cocatu.
10.  Mareku pada awalnya hanya ada 1 sangaji yaitu Sangaji Mareku dan ini berlangsung pada masa Kesultanan Jou Seli. Akan tetapi dalam taraf perkembangan  lebih lanjut hadir sangi Laho. Sangaji Laho pada awalnya merupakan perpindahan dari Sangaji Tuguiha. Hal ini terjadi karena pada saat perebutan wilayah Weda, Sangaji Tuguiha gagal dalam pelaksanaan tugasnya.
11.  Intensitas sejarah menunjukkan bahwa pemerintahan adat Sangaji Jiko Malofo dibentuk oleh Sultan Tidore dengan fungsi dan tujuan yang meliputi; ULIL AMRI Yang bertanggung jawab pada rakyat dan tugas melaksanakan perintah agama Islam ini berkaitan dengan semboyan Sangaji  Kado Sigi Se  Ingam Alif Se Baitullah.
12. Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, kedua Sangaji harus berembuk dalam memecahkan persoalan-persoalan pemerintahan dan adat yang ada diwilayah masing-masing dengan bobato-bobatonya.

B. Saran
Dalam rangka pengembangan penelitian sejarah dan nilai-nilai tradisional diwilayah propinsi Maluku Utara terutama Kota Tidore Kepulauan diharapkan agar dukungan dari pemerintah daerah sangat diharapkan dalam upaya mewujudkan hal dimaksud. Salah satu faktor untuk mempromosikan daerah ke dunia luar adalah dengan jalan memperkenalkan sejarah yang ada pada daerah tersebut, karenanya upaya untuk penelusuran berbagai cerita sejarah perlu digalakkan.
Untuk kalangan akademisi diharapkan agar lebih konsisten dalam menggalakkan penelitian sejarah dalam rangka pengembangan ilmu itu sendiri dan juga dalam rangka mengungkap berbagai macam peristiwa sejarah diwilayah Maluku Kieraha yang sebagaian besar masih belum terungkap.
sebagaimana dipahami bahwa Maluku Kieraha sangat terkenal dalam panggung peristiwa sejarah Indonesia maupun dunia akan tetapi catatan peristiwa sejarah di Maluku Utara dewasa ini sebagian besar belum direkonstruksi. Karena hal itu Otoritas pemerintahan Maluku Utara sebagai penentu kebijakan disarankan agar turut memberikan dukungan kepada upaya mengungkap berbagai peristiwa Sejarah di wilayah Maluku Utara.








DAFTAR   PUSTAKA



Anonimous,   Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  Balai Pustaka,    Jakarta  2001
Alwi Des, dan Willard A. Hanna, Ternate dan Tidore Masa Lalu Penuh Gejolak, Sinar Harapan, Jakarta 1996
A. Rahman Maswin, Drs, Mengenal Kesultanan Tidore, Lembaga Kesenian  Keraton  Limau Duko Kesultanan Tidore 2006
Budiarjo Meriam,  Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta 1991
Dorleans Bernard, Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad 16-20.
Gramedia, Jakarta 1982
Katoppo E, Nuku Perjuangan Kemerdekaan Di Maluku Utara, Sinar Harapan , Jakarta 1984
Kartodirjo Sartono,Prof.Dr.H, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900, Jakarta 1988
__________________,Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia,  Gramedia 1982
Koentjaraningrat,  Pengantar   Ilmu  Antropologi,  Aksara  Baru, Jakarta 1986
Kusnadi Muhammad,  Pengantar  Hukum  Tata  Negara Indonesia,    Cv.  Sinar Bakti,  Jakarta 1981
Lairissa R.Z. Halmahera Timur dan Raja-Raja Jailolo, Balai Pustaka, Jakarta 1996
Marasabessy Benyamin Drs, M Ed, Isu-isu Kontemporer Untuk Menjawab Tantangan Global, Yayasan Raudhatul Hasyiin, Ternate 2006
__________________, Sultan Nuku, Perjuangan Mempertahanan Kedaulatan Kerajaan Tidore 1780 – 1805, Pemerintah daerah Kabupaten Halmahera Tengah, 2003.
__________________, Tuan Guru, Yayasan  Raudhatul  Hasyiin, Ternate 2005
Notosusanto Nugroho,   Marwati Djoenedpusponegoro,   Sejarah Nasional 
Indonesia III, Balai Pustaka 1990
Pattikayhatu J,dan M Wahab Hamzah, Sejarah Perjuangan Sultan Nuku Dalam Menentang Penjajah Belanda, Lembaga Kebudayaan Maluku,  1997
Suryadiningrat Bayu,  Pengenal  Ilmu Pemerintahan, Aksara Baru, Jakarta 1980.
Suyono Ariyono,    Kamus  Antropologi,     Akademika  Presindo, Jakarta  1985.
Sukanto Sarjono,   Sosiologi   Suatu  Pengantar,  Rajawali  Press, Jakarta 1990
Yamin Muhammad, Tata Negara Majapahit, Prapanca, Jakarta 1963
Yasin Ansar, Kesultanan Ternate Dimasa Pemerintahan Sultan Muhammad Jabir Syah, Skripsi Universtas Pattimura, Ambon 1996.